Sejarah Peristiwa Pemberontakan G 30S/PKI Lengkap dan Cara Penumpasannya
Sejarah Peristiwa Pemberontakan G 30S/PKI Lengkap dan Cara Penumpasannya - Update artikel baru kali ini Mtpelajaran.com akan membahas tentang sejarah peristiwa pemberontakan G 30 S/PKI, cara pemerintah menumpas G 30S/PKI. Peristiwa Pemberontakan G 30 S/PKI merupakan peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September. Pemberontak G 30 S/PKI adalah partai komunis yang ingin menguasai indonesia dengan cara apapun termasuk membunuh para jenderal sehingga anggota TNI AD tidak mempunyai seorang komando untuk digerakkan. Untuk lebih jelasnya, simak pembahasan selengkapnya berikut ini:
Dalam doktrin komunis telah dinyatakan dengan jelas bahwa setiap partai komunis di mana pun ia berada selalu bertujuan untuk merebut kekuasaan negara dengan menyingkirkan kekuatan politik lainnya. Hal ini ditempuh dalam rangka menegakkan diktator proletariat. Usaha yang ditempuh dalam merebut kekuasaan selalu dilakukan dengan cara kekerasan, seperti yang berlangsung diberbagai negara lain, tidak terkecuali di Indonesia.
Pada saat usia Republik Indonesia masih muda, yaitu pada tahun 1948, PKI pernah mencoba untuk merebut kekuasaan dan pemerintah Republik Indonesia yang sah. Gerakan PKI itu dikenal dengan nama Pemberontakan PKI Madiun. Pemberontakan tersebut berhasil ditumpas berkat kerjasama ABRI dan rakyat yang setia pada Pancasila dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Setelah itu, PKI bergerak di bawah tanah, dan muncul kembali pada tahun 1950 dalam kehidupan politik di Indonesia dan ikut serta dalam Pemilihan Umum I tahun 1955.
Peristiwa percobaan kudeta PKI di tahun 1948, masih membekas dan meninggalkan trauma bagi bangsa Indonesia, sehingga selalu timbul kecurigaan terhadap gerakan-gerakan PKI.
Sejak D.N. Aidit terpilih menjadi ketua PKI tahun 1951, ia dengan cepat membangun kembali PKI yang porak-poranda akibat kegagalan pemberontakan tahun 1948. Usaha yang dilakukan D.N. Aidit berhasil dengan baik, sehingga dalam pemilihan umum tahun 1955, PKI berhasil meraih dukungan rakyat dan menempatkan diri menjadi satu dari empat partai besar di Indonesia, yaitu PNI, Masyumi, dan NV.
Tampaknya PKI berkeinginan merebut kekuasaan melalui parlemen pada masa Demokrasi Terpimpin. Di sarnping itu, mereka juga terlihat mempersiapkan diri untuk mencapai tujuannya, yaitu berkuasa atas wilayah Republik Indonesia. Untuk itu dibentuk biro khusus yang secara rahasia bertugas mempersiapkan kader-kader di berbagai organisasi politik, termasuk dalam tubuh ABRI. PKI juga berusaha memengaruhi Presiden Soekarno untuk menyingkirkan dan melenyapkan lawan-lawan politiknya. Hal ini tampak dengan dibubarkannya Partai Masyumi, PSI, dan Partai Murba oleh presiden. PKI juga berhasil memecah-belah PNI menjadi dua kelompok. Upaya itu ditempuh oleh PKI dengan menyusupkan ir.Surachman (seorang tokoh PKI ) ke dalam tubuh PNI.Setelah PKI merasa cukup kuat, dihembuskan isu bahwa pimpinan TNI Angkatan Darat membentuk Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno pada saat peringatan Hari Ulang Tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965. PKI juga menyebutkan bahwa anggota Dewan Jenderal itu adalah agen Nekolim (Amerika Serikat atau Inggris). Tuduhan itu ditolak oleh Angkatan Darat, bahkan Angkatan Darat langsung menuduh PKI yang akan melakukan perebutan kekuasaan. Namun dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ABRI pada tanggal 5 Oktober 1965, puluhan ribu tentara telah berkumpul di Jakarta sejak akhir bulan September 1965, sehingga dugaan-dugaan akan terjadinya kudeta semakin bertambah santer.
Menjelang terjadinya peristiwa G3OS/PKI, tersiar berita bahwa kesehatan presiden mulai menurun dan berdasarkan diagnosis dan tim dokter RRC ada kemungkinan Presiden Soekamo akan lumpuh atau meninggal. Setelah mengetahui keadaan Presiden Soekarno seperti itu, D.N. Aidit langsung mengambil suatu keputusan untuk memulai gerakan. Rencana gerakan diserahkan kepada kamaruzaman (alias Syam) yang diangkat sebagai Ketua Biro Khusus PKI dan disetujui oleh D.N. Aidit. Biro Khusus itu menghubungi kadernya di kalangan ABRI, seperti Brigjen Supardjo, Letnan Kolonel Untung Dari Cakrabirawa, Kolonel Sunardi dan TNI-AL, Marsekal Madya Omar Dani dan TNT-AU dan Kolonel Anwar dan Kepolisian.
Menjelang pelaksanaan Gerakan 30 September 1965, pimpinan PKI telah beberapa kali mengadakan pertemuan rahasia. Tempat pertemuan terus berpindah dan satu tempat ke tempat yang lainnya. Melalui serangkaian pertemuan itu, pimpinan PKI menetapkan bahwa Gerakan 30 September 1965 secara fisik dilakukan dengan kekuatan militer yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa (Pasukan pengawal Presiden) yang bertindak sebagai pimpinan formal seluruh gerakan.
Sebagai pemimpin dari Gerakan 30 September 1965, Letnan Kolonel Untung mengambil suatu keputusan dan memerintahkan kepada seluruh anggota gerakan untuk siap dan mulai bergerak pada dini hari 1 Oktober 1965. Pada dini hari itu, mereka melakukan serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama dan Angkatan Darat. Para perwira Angkatan Darat disiksa dan selanjutnya dibunuh. Mereka dibawa ke Lubang Buaya, yaitu satu tempat yang terletak di sebelah selatan pangkalan udara utama Halim Perdana Kusuma. Selanjutnya para korban itu dimasukkan ke dalam satu sumur tua, kemudian ditimbun dengan sampah dan tanah.
Ketujuh korban G 30S/PKI dari TNI Angkatan Darat adalah sebagai berikut:
1. Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat atau Men Pangad).
2. Mayor Jenderal R. Soeprapto (Deputy II Pangad).
3. Mayor Jenderal Haryono Mas Tirtodarmo (Deputy III Pangad).
4. Mayor Jenderal Suwondo Parman (Asisten I Pangad)
5. Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan (Asisten IV Pangad).
6. Brigadir Jenderal Soetojo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman / Oditur).
7. Letnan Satu Pierre Andreas Tendean (Ajudan Jenderal A.H. Nasution).
Ketika terjadinya penculikan itu, Jenderal A.H. Nasution yang juga menjadi target penculikan berhasil menyelamatkan diri setelah kakinya tertembak. Namun, putrinya yang bernama Ade Irma Suryani menjadi korban sasaran tembak dan kaum penculik dan kemudian gugur. Ajudan Jenderal A.H. Nasütion yang bernama Letnan Satu Pierre Andreas Tendean juga menjadi korban. Sedangkan korban lainnya adalah Pembantu Letnan Polisi Karel Satsuit Tubun. ia gugur pada saat gerombolan yang berusaha menculik Jenderal A.H. Nasution. Pada waktu bersamaan, G3OS/PKI mencoba untuk mengadakan perebutan kekuasaan di Yogyakarta, Solo, Wonogiri dan Semarang. Selanjutnya gerakan tersebut mengumumkan berdirinya Dewan Revolusi melalui RRI pada tanggal 1 Oktober 1965. Dewan Revolusi yang dipancarkan melalui siaran RRI itu dibacakan oleh Letnan Kolonel Untung. Sementara itu, Dewan Revolusi di daerah Yogyakarta diketuai oleh Mayor Mulyono. Mereka telah melakukan penculikan terhadap Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugijono. Kedua perwira TNI-AD ini dibunuh oleh gerombolan penculik di desa Kentungan yang terletak di sebelah utara kota Yogyakarta.
Operasi penumpasan G3OS/PKI yang dilancarkan pada tanggal 1 Oktober 1965 diusahakan sedapat mungkin tidak menimbulkan bentrokan senjata. Langkah yang pertama kali dilakukan adalah menetralisasi pasukan yang berada di sekitar Medan Merdeka yang dimanfaatkan atau dipergunakan oleh kaum Gerakan 30 September. Pasukan tersebut berasal dari anggota pasukan Batalyon 503/Brawijaya dan anggota pasukan Batalyon 545/Diponegoro. Anggota pasukan Batalyon 503/Brawijaya berhasil disadarkan dari keterlibatan Gerakan 30 September tersebut dan kemudian mereka ditarik ke Markas Kostrad di Medan Merdeka Timur. Sedangkan anggota pasukan Batalyon 545 / Diponegoro berhasil ditarik mundur sekitar pukul 17.00 WIB oleh pihak Gerakan 30 September ke Lapangan Udara Halim Perdana Kusuma.
Operasi militer tentang penumpasan Gerakan 30 September mulai dilakukan sore hari, tanggal 1 Oktober 1965 pukul 19.15 WIB. Sementara itu, pasukan RPKAD berhasil menduduki kembali gedung RRI Pusat, gedung telekomunikasi dan mengamankan seluruh wilayah Medan Merdeka tanpa terjadi bentrokan bersenjata atau pertumpahan darah. Juga pasukan Batalyon 238 Kujang/Siliwangi berhasil menguasai Lapangan Banteng dan mengamankan Markas Kodam V/Jaya dan sekitarnya. Batalyon I Kavaleri berhasil mengamankan BNI Unit I dan percetakan uang negara di daerah Kebayoran. Dengan demikian, dalam waktu yang sangat singkat, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1965 itu juga kota Jakarta telah berhasil dikuasai kembali oleh ABRI dan kekuatan G3OS/PKI yang memberontak telah berhasil dilumpuhkan.
Untuk menentramkan kegelisahan masyarakat dan menyadarkan pasukan yang terlibat dalam G3OS/PKI, maka dilakukanlah berbagai bentuk upaya. Di antaranya melalui siaran RRI pada pukul 20.00 WIB, Mayor Jenderal Soeharto selaku pimpinan sementara Angkatan Darat mengumumkan adanya usaha perebutan kekuasaam Usaha perebutan kekuasaan itu dilakukan oleh gerombolan yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September 1965” serta penculikan terhadap enam perwira tinggi Angkatan Darat Sementara itu Presiden dan Menko Hankam/KASAB dalam keadaan aman dan sehat. Dinyatakan pula bahwa di antara Angkatan Darat Angkatan Laut dan Kepolisian telah terjadi saling pengertian untuk bekerja sama menumpas G3OS/PKI. Mayjen Soeharto juga menganjurkan kepada rakvat Indonesia agar tetap tenang dan waspada. Setelah berhasil diketahui bahwa basis utama dari G3OS/PKI berada di sekitar lapangan udara Halim Perdana Kusuma. maka Iangkah berikutnya adalah berupaya membebaskan pangkalan tersebut dan tangan G3OS/PKI. Presiden Soekarno dihimbau untuk meninggalkan daerah Halim Perdana Kusuma. Hal ini dimaksudkan. untuk menjaga keselamatannya apabila terjadi bentrokan fisik antara pasukan TNI dengan pasukan pendukung G3OS/PKI yang bersembunyi di sekitar pangkalan udara Halim Perdana Kusuma.
Kemudian Presiden Soekarno meninggalkan halim Perdana Kusuma menuju Istana Bogor. Sedangan pasukan RPKAD yang dibantu oleh pasukan Batalyon 238 Kujang/Siliwangi dan Batalyon 1 Kavaleri diperintahkan bergerak menuju sasaran. Juga didatangkan bantuan kekuatan pasukan sebanyak tiga kompi tempur Kavaleri pengintai yang langsung dipimpin oleh Komandan Kesejahteraan Kavaleri (Dansenkav) Kolonel Subiantoro. Mereka tiba di Cijantung dan langsung diikutsertakan dalam gerakan untuk menutup jalan simpang tiga Cililitan, Kramat Jati dan simpang tiga Lanuma Halim Lubang Buaya tanpa menemui kesulitan. Pada pukul 06.10 WIB tanggal 2 Oktober 1965 daerah pangkalan udara Halim Perdana Kusuma sudah berhasil dikuasai, walaupun sempat mendapat perlawanan kecil dan timbul kontak senjata. Kontak senjata juga terjadi pada saat dilakukan gerakan pembersihan yang dilanjutkan hingga ke kampung-kampung di sekitar wilayah lubang Buaya. Karena di daerah-daerah itu sebelumnya disinyalir dijadikan sebagai tempat latihan kemiliteran Pemuda Rakyat dan Gerwani.
Dalam gerakan pembersihan ke kampung-kampung di sekitar Lubang Buava, Ajun Brigadir Polisi (Abriptu/Kopral Satu) Sukitman yang sempat ditawan oleh regu penculik Brigjen Dl Pandjaitan berhasil meloloskan diri. Kemudian pada tanggal 3 Oktober 1965 berhasil menemukan jenazah para perwira tinggi Angkatan Darat yang dikuburkan dalam sumur tua. Pengangkatan jenazah baru berhasil dilaksanakan pada tanggal 4 Oktober 1965 oleh anggota RPKAD dan KKOAL (marinir). Seluruh jenazah dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (sekarang RSPAD Gatot Subroto) untuk dibersihkan dan kemudian disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat. Keesokan harinya bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965, jenazah para perwira tinggi Angkatan Darat itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Mereka dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi, serta diberi kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi, anumerta. Ketika berada di Halim Perdana Kusuma pada tanggal 1 Oktober 1965, Presiden Soekarno mengeluarkan perintah yang ditujukan kepada seluruh jajaran Angkatan Bersenjata. Presiden Soekarno meminta untuk mempertinggi kesiapsiagaan dan untuk tetap di pos masing-masing serta hanya bergerak jika ada perintah. Seluruh rakyat agar tetap tenang dan meningkatkan kewaspadaan serta memelihara persatuan dan kesatuan nasional. Selain itu, diumumkan bahwa pimpinan Angkatan Darat untuk sementara waktu dipegang oleh Presiden/Panglima Tertinggi ABRI dan untuk melaksanakan tugas sehari-hari dalam Angkatan Darat ditunjuk untuk sementara Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro, Asisten II Men/Pangad. Perintah itu tidak segera diketahui oleh anggota ABRI yang berada di luar Halim. Oleh karena itu, pada hari yang sama, sesuai dengan tata cara yang berlaku, Mayor Jenderal Soeharto menyatakan untuk sementara memegang pimpinan Angkatan Darat
Untuk menyelesaikan masalah pemulihan keamanan dan ketertiban, pada tanggal 2 Oktober 1965 Presiden Soekarno memanggil semua panglima dan seluruh angkatan ke Istana Bogor. Dalam pertemuan itu diputuskan bahwa pimpinan Angkatan Darat Iangsung berada di tangan presiden. Untuk menyelesaikan tugas sehari-hari dalam Angkatan Darat ditetapkan dan ditunjuk Mayor Jenderal Pranoto, dan Mayor Jenderal Soeharto diberi tugas untuk pemulihan keamanan dan ketertiban yang terkait dengan G3OS/PKI. Keputusan itu diumumkan melalui RRI Pusat pukul 01.30, pada tanggal 3 Oktober 1965. Hal ini merupakan awal eksistensi Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Berdasarkan perintah tersebut, siang harinya Mayor Jenderal Soeharto melalui RRI mengumumkan pengangkatan dirinya selaku pelaksana pemulihan keamanan dan ketertiban yang akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kebijakan Presiden Soekarno mengenai penyelesaian G3OS/PKI dinyatakan dalam sidang paripurna Kabmet Dwikora tanggal 6 Oktober 1965 di Istana Bogor sebagai berikut:
“Presiden/Panglima Tertinggi ABRJ/Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno menandaskan bahwa ia mengutuk pembunuhan buas yang dilakukan oleh petualang kontrarevolusi yang menamakan dirinya dengan Gerakan 30 September 1965. Presiden juga tidak membenarkan pembentukan apa yang dinamakan Dewan Revolusi. Hanya saja bisa mendemisionerkan kabinet, bukan orang lain.”
Dalam rangka penyelesaian masalah G3OS / PKI digariskan beberapa kebijakan, di antaranya aspek politik diselesaikan oleh presiden, aspek militer administratif diserahkan kepada Mayor Jenderal Pranoto, serta penyelesaian aspek militer teknis, masalah keamanan dan ketertiban diserahkan kepada Mayor Jenderal Soeharto. Setelah keluar pernyataan presiden yang mengutuk G3OS/PKI dan diduga PKI yang mendalangi atau berada di belakang gerakan tersebut, maka kemarahan dan kebencian rakyat terhadap PKI semakin meningkat. Antara lain dengan dibakamya gedung Kantor Pusat PKI di Jalan Kramat Raya. Rumah tokoh-tokoh PKI dan kantornya menjadi sasaran kemarahan rakyat. Aksi corat-coret menuntut pimpinan PKI diadili dan demostrasi menuntut pembubaran PKI dipelopori oleh mahasiswa, pelajar dan organisasi massa (ormas) yang setia kepada Pancasila.
Sementara itu, gerakan operasi pembersihan terhadap sisa-sisa G3OS/PKI terus ditingkatkan. Koloriel A. Latief, komandan yang telah dipecat dan Brigade Infantri/Kodam Jaya ditangkap tanggal 11 Oktober 1965 di Tegal dalam perjalanan melarikan diri ke Jawa Tengah. Walaupun peranan PKI makin kuat terungkap sebagai dalang peristiwa G3OS/PKI, dan demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI semakin memuncak, namun Presiden Soekarno belum bertindak Presiden Soekarno belum mengambil keputusan dan belum juga bertindak mengambil langkah-langkah ke arah penyelesaian politik dan masalah G3OS/PKI itu, sebagaimana yang telah dijanjikannva. D.N. Aidit dalam pelariannya pada tanggal 6 Oktober 1965 dan Blitar mengirim surat kepada presiden. D.N. Aidit mengusulkan supaya melarang adanva pernyataan-pemyataan yang sifatnya mengutuk G3OS/PKI, serta melarang adanya saling menuduh atau saling menyalahkan. Dengan demikian diharapkan amarah rakyat kepada PKI semakin mereda. Pernyataan ternyata tidak membuat surut rakyat Indonesia untuk menuntut pembubaran PKI beserta organisasi massanya. Komando Daerah Militer (Kodam juga turut membekukan PKI beserta organisasi massanya (ormasnya).
Ketika meletus G3OS/PKI, daerah yang paling gawat keadaannya adalah di Jakarta dan Jawa Tengah. Di kedua daerah itu pihak G3OS/PKI mempergunakan kekuatan senjata, sedangkan di daerah lainnya secara umum kaum G3OS/PKI itu tidak beraksi menggunakan kekuatan bersenjata. Kodam VII / Diponegoro memiliki tiga Brigade, yaitu Brigade 4, 5, 6. Sebagai hasil penggarapan Biro Khusus PKI , anggota Brigade 4 dipergunakan oleh kaum G3OS/PKI sedangkan anggota Brigade 5 hanya sedikit yang berhasil dipengaruhi. Hanya anggota Brigade 6 yang tidak terpengaruh oleh mereka. Batalyon yang aktif dipergunakan oleh kaum G3OS/PKI adalah Batalyon K dan M yang berkedudukan di Solo. Batalyon L dan C berkedudukan di Yogyakarta, serta Batalyon D berkedudukan di Salatiga.
Setelah G3OS/PKI bergerak di Jakarta, pada tanggal 1 Oktober 1965 gerakan itu juga memulai aksinya di daerah Jawa Tengah. Munculnya G305/PKI di Jawa Tengah diawali dengan siaran RRI Semarang. Melalui RRI Semarang itu, Asisten Kodam Vil/Diponegoro, Kolonel Suhirman mengumumkan dukungannya terhadap G305/PKI pada daerah Tingkat I Jawa Tengah. Mereka berhasil menguasai Markas Kodam Vil/Diponegoro dan kemudian dijadikan markas serta meluaskan gerakannya ke seluruh Korem dan Brigade di lingkungan Kodam VII/Diponegoro. Di samping itu, G3OS/PKI mendatangkan pasukan pelindung, di antaranya dan Solo, Batalyon K di bawah pimpinan Mayor Kadri dan dua kompi Batalyon D dari Salatiga pimpinan Mayor Supardi. Pasukan ini ditempatkan di tempat-tempat strategis terutama di Makodam, RRI dan telekomunikasi.
Selanjutnya, Kolonel Sahirman mengumumkan bahwa Letnan Kolonel Sastrodibroto mengambil alih pimpinan Kodam Vil/Diponegoro dan di beberapa tempat pendukungnya mengambil alih pimpman setempat, di antaranya:
a. Markas Komando Resort Militer (Makorem) 071/Purwokerto dipimpin oleh Kepala Staf Letnan Kolonel Soemito.
b. Makorem 072/Yogvakarta dipunpm oleh Kepala Seksi 5 Mayor Mulyono.
c. Markas Brigade Infantri 6 dipimpin oleh Komandan Kompi Markas, Kapten Mintarso.
Dewan Revolusi Yogvakarta mengumumkan melalui RRI pada tanggal 1 Oktober 1965 bahwa yang menjadi Ketua G3OS/PKI di Yogyakarta adalah Mayor Mulyono. Dengan mempergunakan kekuatan Batalyon L, mereka menguasai Makorem 072 dan menculik Kepala Staf Korem 072 Letnan Kolonel Sugiyono. Selanjutnya mereka mengeluarkan perintah kepada segenap Komando Distrik Muter (Kodim) supaya mendukung G3OS/PKI. Mereka juga membagi-bagikan senjata kepada anggota Legiun Veteran setempat. Pada tanggal 2 Oktober 1965, terjadi demonstrasi anggota PKI dan organisasi massanya di depan Makorem 072 untuk menyatakan dukungannya kepada Gerakan 30 September 1965. Pada hari itu juga Komandan Korem 072 Kolonel Katamso diculik dan rumahnya dan dibawa ke kompleks Batalyon L di desa Kentungan, sebelah utara kota Yogyakarta. Selanjutnya Kolonel Katamso bersama Letnan Kolonel Sugijono dibunuh oleh anggota G3OS/PKI. Dengan kekuatan Batalyon M, G3OS/PKI juga melakukan gerakannya di Solo. Gerakan itu diawali dengan penculikan. Mereka menculik Komandan Brigade 6 Kolonel Azahari, Kepala Staf Brigade 6 Letnan Kolonel Parwoto, Kepala Staf Kodim 735 Mayor Soeparman, Komandan Polisi Militer Detasemen Surakarta Kapten Prawoto dan Komandan Batalyon M, Mayor Darso. Selain melakukan penculikan, mereka juga melakukan pendudukan terhadap kantor RRI, telekomunikasi dan bank-bank negara. Pada tanggal 2 Oktober 1965, Wali Kota Solo, Oetomo Ramelan, melalui RRI mengumumkan dukungannya kepada G3OS/PKI.
Daerah Surakarta diliputi suasana pemberontakan. Rakyat yang bukan anggota PKI atau organisasi satelitnya merasa ketakutan dan khawatir. Sementara itu, polisi belum bertindak mereka hanya mengamati kegiatan yang dilakukan PKI dan organisasi massanya. Hal ini disebabkan polisi hanya memiliki kekuatan satu kompi Brimob dan satu kompi Perintis. Demikian juga tentara pelajar yang bergabung dalam organisasi GPTP (Gerakan Pelaksana Tjita-jita Prokiamasi) sebanyak 50 orang serta organisasi massa golongan nasionalis dan agama. Mereka masih pasif dalam menghadapi kekuatan massa G3OS/PKI yang mendapat perlindungan dan oknum-oknuni Brigade 6.Oleh karena itu, Pangdam VII/Diponegoro, Brigadir Jenderal Surjosumpeno, setelah mendengar pengumuman letnan Kolonel Untung melalui radio, segera memanggil perwira stafnya dan Sad Tunggal Jawa Tengah untuk mengadakan taklimat (briefing). Pangdam memerintahkan kepada para pejabat supaya tetap tenang dan berusaha untuk menenangkan rakyat, karena situasi yang sebenarnya belum diketahui. Ia berangkat ke Salatiga untuk mengadakan taklimaf yang sama dan direncanakan akan terus ke Magelang. Asisten 2, Letnan Kolonel Soeprapto diperintahkan untuk mengadakan taklimat (briefing) di Solo. Namun ketika Pangdam VII/Diponegoro tidak berada di Semarang, Kolonel Sahirman mengumumkan berdirinya Dewan Revolusi dan Kolonel Usman mengambil alih pimpinan Kodam VII/Diponegoro.
Ketika sampai di Salatiga, Brigjen Surjosumpeno menghadapi kenyataan bahwa kota tersebut telah dikuasai oleh G3OS/PKI. Atas saran Letkol Soeprapto (yang tidak jadi berangkat ke Solo, karena sudah ada informasi bahwa kota Solo juga telah dikuasai oleh G3OS / PKI), Brigjen Surjosumpeno berangkat ke Magelang untuk menyusun kekuatan. Pasukan di Garnisun Magelang tidak terpengaruh oleh G3OS/PKI. Oleh karena itu, Panglima Daerah VII/ Diponegoro segera mengadakan taklimat dengan komandan setempat dan memutuskan untuk menggerakkan pasukan dalam upaya menumpas G3OS/PKI itu.
Pasukan yang digunakan untuk penumpasan G 30 S/PKI di Solo di antaranya adalah:
a. Batalyon Kavaleri 2 yang berkedudukan di Magelang.
b. Batalyon Artileri Medan 3 yang berkedudukan di Magelang.
c. Batalyon Artileri Medan 9 yang berkedudukan di Magelang.
d. Batalyon 4 yang berkedudukan di Medan
e. Batalyon Zeni Tempur 2/Para yang berkedudukan di Magelang.
f. Sebagian anggota Batalyon 4 yang berkedudukan di Gombong.
g. Sebagian Batalyon 3/Para yang berkedudukan di Semarang.
Gerakan operasi penumpasan dimulai pada tanggal 2 Oktober 1965. Pasukan mulai bergerak pada pukul 05.00 W1B untuk membebaskan kota Semarang dengan kekuatan 2 pleton BTR (Bronero Transportasi), yaitu kendaraan yang mengangkut personel kavaleri pimpinan Letnan Kolonel Jassin Husein dan satu’Batalyon Artileri Medan dengan tugas infantri.Setelah ada siaran RRI Jakarta, bahwa Jakarta telah berhasil dikuasai kembali oleh ABRI, sedangkan pasukan yang digunakan oleh G3OS/PKI mulai tidak kompak. Kota Semarang berhasil dikuasai kembali oleh pasukan ABRI tanpa letupan senjata. Kolonel Sahirman, dkk melarikan diri ke luar kota dikawal oleh dua kompi anggota Batalyon K pimpinan Mayor Kadri. Dua kompi anggota Batalyon K lamnya dan dua kompi anggota Batalyon D dapat disadarkan kembali dan keterlibatannya dengan G3OS/PKI. Pukul 10.00 WIB han itu juga (tanggal 2 Oktober 1965) Pangdam Vil/Diponegoro melalui RRI mengumumkan bahwa Pangdam telah kembali memegang pimpinan Kodam VII / Diponegoro.
Kota demi kota yang pernah dikuasai oleh pihak G30S/PKI itu berhasil direbut kembali, sehingga pada tanggal 5 Oktober 1965 garis Komando Kodam VII/Diponegoro telah dipulihkan kembali. Untuk memantapkan konsolidasi Kodam VII / Diponegoro, pada tanggal 5 Oktober 1965 Pangdam mengadakan taklimat secara simultan dengan komandan-komandan pleto di kota Salatiga, Solo dan Yogyakarta. Dengan demikian, secara fisik militer, pemulihan keamanan dalam jajaran Kodam VII/Diponegoro telah selesai. Namun kemudian timbul gerakan pengacau, sabotase dan pembunuhan yang dilakukan oleh massa PKI terhadap golongan yang menentang G3OS/PKI. Daerah Jawa Tengah merupakan daerah garis PKI yang kuat. Oleh karena itulah, Ketua CC PKI, D.N. Aidit memilih Jawa Tengah sebagai tempat pelariannya.
Untuk mengatasi kekacauan dan menegakkan ketertiban umum, Pangdam VII / Diponegoro berangkat dan Jakarta tanggal 16 Oktober 1965, dan dengan bantuan RPKAD serta pasukan kaveleri mereka tiba di Semarang tanggal 19 Oktober 1965. Daerah Jawa Tengah yang dianggap paling gawat dan merupakan basis G3OS/PKI adalah daerah Surakarta, Klaten, dan Boyolali.
Untuk mengintensifkan gerakan pembersihan terhadap sisa-sisa G3OS/PKI di Jawa Tengah, pada tanggal 1 Oktober 1965 dibentuk Komando Operasi Merapi. Operasi Merapi ini langsung dipimpin oleh Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhi Wibowo. Dalam operasi itu pimpinan G3OS/PKI Jawa Tengah seperti Kolonel Sahirman, Kolonel Maryono dan Kapten Sukarno
berhasil ditembak mati. Dengan keberhasilan itu, pada tanggal 30 Desember 1965 pasukan RPKAD ditarik kembali dan Jawa Tengah ke pangkalannya di Jakarta. Kemudian pemulihan keamanan dan ketertiban dilanjutkan dalam rangka peperda pembersihan organisasi politik dan organisasi massa pendukung G305 /PKI.
Pembersihan terhadap G3OS/PKI itu juga dilakukan di daerah Blitar Selatan. Gerakan pembersihan itu diberi nama Operasi Trisula yang dilancarkan mulai tanggal 3 Juli 1968. Operasi itu memakan waktu satu setengah bulan dan berhasil menangkap 850 orang PKI yang mendukung G3OS/PKI. Mereka yang tertangkap itu di antaranya 13 orang tokoh tingkat CC dan 12 orang tokoh tingkat CDB. Operasi penumpasan terhadap pendukung gelap G3OS/PKI dan PKI gelap juga dilakukan di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu di daerah pegunungan Lawu dan Kendeng. Operasi itu berhasil menangkap 200 orang kader PKI. Selain itu terdapat operasi penumpasan di daerah Purwodadi setelah tercium bahwa PKI gelap membangun STPR (Sekolah Tentara Perlawanan Rakyat). Diketahui pula PKI gelap memindahkan kegiatannya di daerah kompleks Merapi Merbabu (MMC). Dalam operasi yang dilancarkan di daerah itu berhasil ditangkap Pono (Supono Mrsudidjojo), orang kedua dalam biro khusus PKI.
Sementara itu, operasi penumpasan G3OS/PKI yang dilakukan di luar Jakarta dan Jawa Tengah cukup dilakukan dengan Gerakan Operasi Territorial. Operasi itu dilakukan dengan menangkapi tokoh-tokoh organisasi politik dan organisasi massa PKI. Pada daerah-daerah itu para pendukung G3OS/PKI belum sempat mengadakan gerakan perebutan kekuasaan, hanya di daerah Jawa Timur dan Bali timbul kekacauan dengan terjadinya penculikan dan pembunuhan. Namun, dalam waktu singkat gerakan itu dapat dilumpuhkan. Secara keseluruhan pemberontakan yang menamakan G3OS/PKI yang ditenggarai didukung oleh PKI telah berhasil ditumpas. Bahkan PKI dinyatakan sebagai partai terlarang oleh pemerintah untuk berdiridi Republik Indonesia.
Demikianlah pembahasan tentang sejarah singkat peristiwa pemberontakan G 30S/PKI lengkap dengan cara penumpasannya. Semoga bermanfaat.
korban pengkhiantan G 30S/PKI |
Latar Belakang Munculnya Peristiwa G 30S/PKI
Dalam doktrin komunis telah dinyatakan dengan jelas bahwa setiap partai komunis di mana pun ia berada selalu bertujuan untuk merebut kekuasaan negara dengan menyingkirkan kekuatan politik lainnya. Hal ini ditempuh dalam rangka menegakkan diktator proletariat. Usaha yang ditempuh dalam merebut kekuasaan selalu dilakukan dengan cara kekerasan, seperti yang berlangsung diberbagai negara lain, tidak terkecuali di Indonesia.
Pada saat usia Republik Indonesia masih muda, yaitu pada tahun 1948, PKI pernah mencoba untuk merebut kekuasaan dan pemerintah Republik Indonesia yang sah. Gerakan PKI itu dikenal dengan nama Pemberontakan PKI Madiun. Pemberontakan tersebut berhasil ditumpas berkat kerjasama ABRI dan rakyat yang setia pada Pancasila dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Setelah itu, PKI bergerak di bawah tanah, dan muncul kembali pada tahun 1950 dalam kehidupan politik di Indonesia dan ikut serta dalam Pemilihan Umum I tahun 1955.
Peristiwa percobaan kudeta PKI di tahun 1948, masih membekas dan meninggalkan trauma bagi bangsa Indonesia, sehingga selalu timbul kecurigaan terhadap gerakan-gerakan PKI.
Penyebab Munculnya Peristiwa G 30S/PKI
Sejak D.N. Aidit terpilih menjadi ketua PKI tahun 1951, ia dengan cepat membangun kembali PKI yang porak-poranda akibat kegagalan pemberontakan tahun 1948. Usaha yang dilakukan D.N. Aidit berhasil dengan baik, sehingga dalam pemilihan umum tahun 1955, PKI berhasil meraih dukungan rakyat dan menempatkan diri menjadi satu dari empat partai besar di Indonesia, yaitu PNI, Masyumi, dan NV.
Tampaknya PKI berkeinginan merebut kekuasaan melalui parlemen pada masa Demokrasi Terpimpin. Di sarnping itu, mereka juga terlihat mempersiapkan diri untuk mencapai tujuannya, yaitu berkuasa atas wilayah Republik Indonesia. Untuk itu dibentuk biro khusus yang secara rahasia bertugas mempersiapkan kader-kader di berbagai organisasi politik, termasuk dalam tubuh ABRI. PKI juga berusaha memengaruhi Presiden Soekarno untuk menyingkirkan dan melenyapkan lawan-lawan politiknya. Hal ini tampak dengan dibubarkannya Partai Masyumi, PSI, dan Partai Murba oleh presiden. PKI juga berhasil memecah-belah PNI menjadi dua kelompok. Upaya itu ditempuh oleh PKI dengan menyusupkan ir.Surachman (seorang tokoh PKI ) ke dalam tubuh PNI.Setelah PKI merasa cukup kuat, dihembuskan isu bahwa pimpinan TNI Angkatan Darat membentuk Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno pada saat peringatan Hari Ulang Tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965. PKI juga menyebutkan bahwa anggota Dewan Jenderal itu adalah agen Nekolim (Amerika Serikat atau Inggris). Tuduhan itu ditolak oleh Angkatan Darat, bahkan Angkatan Darat langsung menuduh PKI yang akan melakukan perebutan kekuasaan. Namun dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ABRI pada tanggal 5 Oktober 1965, puluhan ribu tentara telah berkumpul di Jakarta sejak akhir bulan September 1965, sehingga dugaan-dugaan akan terjadinya kudeta semakin bertambah santer.
Peristiwa Terbunuhnya Para Jenderal Oleh G 30S/PKI
Menjelang terjadinya peristiwa G3OS/PKI, tersiar berita bahwa kesehatan presiden mulai menurun dan berdasarkan diagnosis dan tim dokter RRC ada kemungkinan Presiden Soekamo akan lumpuh atau meninggal. Setelah mengetahui keadaan Presiden Soekarno seperti itu, D.N. Aidit langsung mengambil suatu keputusan untuk memulai gerakan. Rencana gerakan diserahkan kepada kamaruzaman (alias Syam) yang diangkat sebagai Ketua Biro Khusus PKI dan disetujui oleh D.N. Aidit. Biro Khusus itu menghubungi kadernya di kalangan ABRI, seperti Brigjen Supardjo, Letnan Kolonel Untung Dari Cakrabirawa, Kolonel Sunardi dan TNI-AL, Marsekal Madya Omar Dani dan TNT-AU dan Kolonel Anwar dan Kepolisian.
Menjelang pelaksanaan Gerakan 30 September 1965, pimpinan PKI telah beberapa kali mengadakan pertemuan rahasia. Tempat pertemuan terus berpindah dan satu tempat ke tempat yang lainnya. Melalui serangkaian pertemuan itu, pimpinan PKI menetapkan bahwa Gerakan 30 September 1965 secara fisik dilakukan dengan kekuatan militer yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa (Pasukan pengawal Presiden) yang bertindak sebagai pimpinan formal seluruh gerakan.
Sebagai pemimpin dari Gerakan 30 September 1965, Letnan Kolonel Untung mengambil suatu keputusan dan memerintahkan kepada seluruh anggota gerakan untuk siap dan mulai bergerak pada dini hari 1 Oktober 1965. Pada dini hari itu, mereka melakukan serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama dan Angkatan Darat. Para perwira Angkatan Darat disiksa dan selanjutnya dibunuh. Mereka dibawa ke Lubang Buaya, yaitu satu tempat yang terletak di sebelah selatan pangkalan udara utama Halim Perdana Kusuma. Selanjutnya para korban itu dimasukkan ke dalam satu sumur tua, kemudian ditimbun dengan sampah dan tanah.
Ketujuh korban G 30S/PKI dari TNI Angkatan Darat adalah sebagai berikut:
1. Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat atau Men Pangad).
2. Mayor Jenderal R. Soeprapto (Deputy II Pangad).
3. Mayor Jenderal Haryono Mas Tirtodarmo (Deputy III Pangad).
4. Mayor Jenderal Suwondo Parman (Asisten I Pangad)
5. Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan (Asisten IV Pangad).
6. Brigadir Jenderal Soetojo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman / Oditur).
7. Letnan Satu Pierre Andreas Tendean (Ajudan Jenderal A.H. Nasution).
Ketika terjadinya penculikan itu, Jenderal A.H. Nasution yang juga menjadi target penculikan berhasil menyelamatkan diri setelah kakinya tertembak. Namun, putrinya yang bernama Ade Irma Suryani menjadi korban sasaran tembak dan kaum penculik dan kemudian gugur. Ajudan Jenderal A.H. Nasütion yang bernama Letnan Satu Pierre Andreas Tendean juga menjadi korban. Sedangkan korban lainnya adalah Pembantu Letnan Polisi Karel Satsuit Tubun. ia gugur pada saat gerombolan yang berusaha menculik Jenderal A.H. Nasution. Pada waktu bersamaan, G3OS/PKI mencoba untuk mengadakan perebutan kekuasaan di Yogyakarta, Solo, Wonogiri dan Semarang. Selanjutnya gerakan tersebut mengumumkan berdirinya Dewan Revolusi melalui RRI pada tanggal 1 Oktober 1965. Dewan Revolusi yang dipancarkan melalui siaran RRI itu dibacakan oleh Letnan Kolonel Untung. Sementara itu, Dewan Revolusi di daerah Yogyakarta diketuai oleh Mayor Mulyono. Mereka telah melakukan penculikan terhadap Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugijono. Kedua perwira TNI-AD ini dibunuh oleh gerombolan penculik di desa Kentungan yang terletak di sebelah utara kota Yogyakarta.
Penumpasan G 30S/PKI
Operasi penumpasan G3OS/PKI yang dilancarkan pada tanggal 1 Oktober 1965 diusahakan sedapat mungkin tidak menimbulkan bentrokan senjata. Langkah yang pertama kali dilakukan adalah menetralisasi pasukan yang berada di sekitar Medan Merdeka yang dimanfaatkan atau dipergunakan oleh kaum Gerakan 30 September. Pasukan tersebut berasal dari anggota pasukan Batalyon 503/Brawijaya dan anggota pasukan Batalyon 545/Diponegoro. Anggota pasukan Batalyon 503/Brawijaya berhasil disadarkan dari keterlibatan Gerakan 30 September tersebut dan kemudian mereka ditarik ke Markas Kostrad di Medan Merdeka Timur. Sedangkan anggota pasukan Batalyon 545 / Diponegoro berhasil ditarik mundur sekitar pukul 17.00 WIB oleh pihak Gerakan 30 September ke Lapangan Udara Halim Perdana Kusuma.
Operasi militer tentang penumpasan Gerakan 30 September mulai dilakukan sore hari, tanggal 1 Oktober 1965 pukul 19.15 WIB. Sementara itu, pasukan RPKAD berhasil menduduki kembali gedung RRI Pusat, gedung telekomunikasi dan mengamankan seluruh wilayah Medan Merdeka tanpa terjadi bentrokan bersenjata atau pertumpahan darah. Juga pasukan Batalyon 238 Kujang/Siliwangi berhasil menguasai Lapangan Banteng dan mengamankan Markas Kodam V/Jaya dan sekitarnya. Batalyon I Kavaleri berhasil mengamankan BNI Unit I dan percetakan uang negara di daerah Kebayoran. Dengan demikian, dalam waktu yang sangat singkat, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1965 itu juga kota Jakarta telah berhasil dikuasai kembali oleh ABRI dan kekuatan G3OS/PKI yang memberontak telah berhasil dilumpuhkan.
Untuk menentramkan kegelisahan masyarakat dan menyadarkan pasukan yang terlibat dalam G3OS/PKI, maka dilakukanlah berbagai bentuk upaya. Di antaranya melalui siaran RRI pada pukul 20.00 WIB, Mayor Jenderal Soeharto selaku pimpinan sementara Angkatan Darat mengumumkan adanya usaha perebutan kekuasaam Usaha perebutan kekuasaan itu dilakukan oleh gerombolan yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September 1965” serta penculikan terhadap enam perwira tinggi Angkatan Darat Sementara itu Presiden dan Menko Hankam/KASAB dalam keadaan aman dan sehat. Dinyatakan pula bahwa di antara Angkatan Darat Angkatan Laut dan Kepolisian telah terjadi saling pengertian untuk bekerja sama menumpas G3OS/PKI. Mayjen Soeharto juga menganjurkan kepada rakvat Indonesia agar tetap tenang dan waspada. Setelah berhasil diketahui bahwa basis utama dari G3OS/PKI berada di sekitar lapangan udara Halim Perdana Kusuma. maka Iangkah berikutnya adalah berupaya membebaskan pangkalan tersebut dan tangan G3OS/PKI. Presiden Soekarno dihimbau untuk meninggalkan daerah Halim Perdana Kusuma. Hal ini dimaksudkan. untuk menjaga keselamatannya apabila terjadi bentrokan fisik antara pasukan TNI dengan pasukan pendukung G3OS/PKI yang bersembunyi di sekitar pangkalan udara Halim Perdana Kusuma.
Kemudian Presiden Soekarno meninggalkan halim Perdana Kusuma menuju Istana Bogor. Sedangan pasukan RPKAD yang dibantu oleh pasukan Batalyon 238 Kujang/Siliwangi dan Batalyon 1 Kavaleri diperintahkan bergerak menuju sasaran. Juga didatangkan bantuan kekuatan pasukan sebanyak tiga kompi tempur Kavaleri pengintai yang langsung dipimpin oleh Komandan Kesejahteraan Kavaleri (Dansenkav) Kolonel Subiantoro. Mereka tiba di Cijantung dan langsung diikutsertakan dalam gerakan untuk menutup jalan simpang tiga Cililitan, Kramat Jati dan simpang tiga Lanuma Halim Lubang Buaya tanpa menemui kesulitan. Pada pukul 06.10 WIB tanggal 2 Oktober 1965 daerah pangkalan udara Halim Perdana Kusuma sudah berhasil dikuasai, walaupun sempat mendapat perlawanan kecil dan timbul kontak senjata. Kontak senjata juga terjadi pada saat dilakukan gerakan pembersihan yang dilanjutkan hingga ke kampung-kampung di sekitar wilayah lubang Buaya. Karena di daerah-daerah itu sebelumnya disinyalir dijadikan sebagai tempat latihan kemiliteran Pemuda Rakyat dan Gerwani.
Dalam gerakan pembersihan ke kampung-kampung di sekitar Lubang Buava, Ajun Brigadir Polisi (Abriptu/Kopral Satu) Sukitman yang sempat ditawan oleh regu penculik Brigjen Dl Pandjaitan berhasil meloloskan diri. Kemudian pada tanggal 3 Oktober 1965 berhasil menemukan jenazah para perwira tinggi Angkatan Darat yang dikuburkan dalam sumur tua. Pengangkatan jenazah baru berhasil dilaksanakan pada tanggal 4 Oktober 1965 oleh anggota RPKAD dan KKOAL (marinir). Seluruh jenazah dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (sekarang RSPAD Gatot Subroto) untuk dibersihkan dan kemudian disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat. Keesokan harinya bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965, jenazah para perwira tinggi Angkatan Darat itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Mereka dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi, serta diberi kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi, anumerta. Ketika berada di Halim Perdana Kusuma pada tanggal 1 Oktober 1965, Presiden Soekarno mengeluarkan perintah yang ditujukan kepada seluruh jajaran Angkatan Bersenjata. Presiden Soekarno meminta untuk mempertinggi kesiapsiagaan dan untuk tetap di pos masing-masing serta hanya bergerak jika ada perintah. Seluruh rakyat agar tetap tenang dan meningkatkan kewaspadaan serta memelihara persatuan dan kesatuan nasional. Selain itu, diumumkan bahwa pimpinan Angkatan Darat untuk sementara waktu dipegang oleh Presiden/Panglima Tertinggi ABRI dan untuk melaksanakan tugas sehari-hari dalam Angkatan Darat ditunjuk untuk sementara Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro, Asisten II Men/Pangad. Perintah itu tidak segera diketahui oleh anggota ABRI yang berada di luar Halim. Oleh karena itu, pada hari yang sama, sesuai dengan tata cara yang berlaku, Mayor Jenderal Soeharto menyatakan untuk sementara memegang pimpinan Angkatan Darat
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Setelah Peristiwa G 30S/PKI
Untuk menyelesaikan masalah pemulihan keamanan dan ketertiban, pada tanggal 2 Oktober 1965 Presiden Soekarno memanggil semua panglima dan seluruh angkatan ke Istana Bogor. Dalam pertemuan itu diputuskan bahwa pimpinan Angkatan Darat Iangsung berada di tangan presiden. Untuk menyelesaikan tugas sehari-hari dalam Angkatan Darat ditetapkan dan ditunjuk Mayor Jenderal Pranoto, dan Mayor Jenderal Soeharto diberi tugas untuk pemulihan keamanan dan ketertiban yang terkait dengan G3OS/PKI. Keputusan itu diumumkan melalui RRI Pusat pukul 01.30, pada tanggal 3 Oktober 1965. Hal ini merupakan awal eksistensi Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Berdasarkan perintah tersebut, siang harinya Mayor Jenderal Soeharto melalui RRI mengumumkan pengangkatan dirinya selaku pelaksana pemulihan keamanan dan ketertiban yang akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kebijakan Presiden Soekarno mengenai penyelesaian G3OS/PKI dinyatakan dalam sidang paripurna Kabmet Dwikora tanggal 6 Oktober 1965 di Istana Bogor sebagai berikut:
“Presiden/Panglima Tertinggi ABRJ/Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno menandaskan bahwa ia mengutuk pembunuhan buas yang dilakukan oleh petualang kontrarevolusi yang menamakan dirinya dengan Gerakan 30 September 1965. Presiden juga tidak membenarkan pembentukan apa yang dinamakan Dewan Revolusi. Hanya saja bisa mendemisionerkan kabinet, bukan orang lain.”
Dalam rangka penyelesaian masalah G3OS / PKI digariskan beberapa kebijakan, di antaranya aspek politik diselesaikan oleh presiden, aspek militer administratif diserahkan kepada Mayor Jenderal Pranoto, serta penyelesaian aspek militer teknis, masalah keamanan dan ketertiban diserahkan kepada Mayor Jenderal Soeharto. Setelah keluar pernyataan presiden yang mengutuk G3OS/PKI dan diduga PKI yang mendalangi atau berada di belakang gerakan tersebut, maka kemarahan dan kebencian rakyat terhadap PKI semakin meningkat. Antara lain dengan dibakamya gedung Kantor Pusat PKI di Jalan Kramat Raya. Rumah tokoh-tokoh PKI dan kantornya menjadi sasaran kemarahan rakyat. Aksi corat-coret menuntut pimpinan PKI diadili dan demostrasi menuntut pembubaran PKI dipelopori oleh mahasiswa, pelajar dan organisasi massa (ormas) yang setia kepada Pancasila.
Sementara itu, gerakan operasi pembersihan terhadap sisa-sisa G3OS/PKI terus ditingkatkan. Koloriel A. Latief, komandan yang telah dipecat dan Brigade Infantri/Kodam Jaya ditangkap tanggal 11 Oktober 1965 di Tegal dalam perjalanan melarikan diri ke Jawa Tengah. Walaupun peranan PKI makin kuat terungkap sebagai dalang peristiwa G3OS/PKI, dan demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI semakin memuncak, namun Presiden Soekarno belum bertindak Presiden Soekarno belum mengambil keputusan dan belum juga bertindak mengambil langkah-langkah ke arah penyelesaian politik dan masalah G3OS/PKI itu, sebagaimana yang telah dijanjikannva. D.N. Aidit dalam pelariannya pada tanggal 6 Oktober 1965 dan Blitar mengirim surat kepada presiden. D.N. Aidit mengusulkan supaya melarang adanva pernyataan-pemyataan yang sifatnya mengutuk G3OS/PKI, serta melarang adanya saling menuduh atau saling menyalahkan. Dengan demikian diharapkan amarah rakyat kepada PKI semakin mereda. Pernyataan ternyata tidak membuat surut rakyat Indonesia untuk menuntut pembubaran PKI beserta organisasi massanya. Komando Daerah Militer (Kodam juga turut membekukan PKI beserta organisasi massanya (ormasnya).
Penumpasan G 30S/PKI di Jawa Tengah dan Yogyakarta
Ketika meletus G3OS/PKI, daerah yang paling gawat keadaannya adalah di Jakarta dan Jawa Tengah. Di kedua daerah itu pihak G3OS/PKI mempergunakan kekuatan senjata, sedangkan di daerah lainnya secara umum kaum G3OS/PKI itu tidak beraksi menggunakan kekuatan bersenjata. Kodam VII / Diponegoro memiliki tiga Brigade, yaitu Brigade 4, 5, 6. Sebagai hasil penggarapan Biro Khusus PKI , anggota Brigade 4 dipergunakan oleh kaum G3OS/PKI sedangkan anggota Brigade 5 hanya sedikit yang berhasil dipengaruhi. Hanya anggota Brigade 6 yang tidak terpengaruh oleh mereka. Batalyon yang aktif dipergunakan oleh kaum G3OS/PKI adalah Batalyon K dan M yang berkedudukan di Solo. Batalyon L dan C berkedudukan di Yogyakarta, serta Batalyon D berkedudukan di Salatiga.
Setelah G3OS/PKI bergerak di Jakarta, pada tanggal 1 Oktober 1965 gerakan itu juga memulai aksinya di daerah Jawa Tengah. Munculnya G305/PKI di Jawa Tengah diawali dengan siaran RRI Semarang. Melalui RRI Semarang itu, Asisten Kodam Vil/Diponegoro, Kolonel Suhirman mengumumkan dukungannya terhadap G305/PKI pada daerah Tingkat I Jawa Tengah. Mereka berhasil menguasai Markas Kodam Vil/Diponegoro dan kemudian dijadikan markas serta meluaskan gerakannya ke seluruh Korem dan Brigade di lingkungan Kodam VII/Diponegoro. Di samping itu, G3OS/PKI mendatangkan pasukan pelindung, di antaranya dan Solo, Batalyon K di bawah pimpinan Mayor Kadri dan dua kompi Batalyon D dari Salatiga pimpinan Mayor Supardi. Pasukan ini ditempatkan di tempat-tempat strategis terutama di Makodam, RRI dan telekomunikasi.
Selanjutnya, Kolonel Sahirman mengumumkan bahwa Letnan Kolonel Sastrodibroto mengambil alih pimpinan Kodam Vil/Diponegoro dan di beberapa tempat pendukungnya mengambil alih pimpman setempat, di antaranya:
a. Markas Komando Resort Militer (Makorem) 071/Purwokerto dipimpin oleh Kepala Staf Letnan Kolonel Soemito.
b. Makorem 072/Yogvakarta dipunpm oleh Kepala Seksi 5 Mayor Mulyono.
c. Markas Brigade Infantri 6 dipimpin oleh Komandan Kompi Markas, Kapten Mintarso.
Dewan Revolusi Yogvakarta mengumumkan melalui RRI pada tanggal 1 Oktober 1965 bahwa yang menjadi Ketua G3OS/PKI di Yogyakarta adalah Mayor Mulyono. Dengan mempergunakan kekuatan Batalyon L, mereka menguasai Makorem 072 dan menculik Kepala Staf Korem 072 Letnan Kolonel Sugiyono. Selanjutnya mereka mengeluarkan perintah kepada segenap Komando Distrik Muter (Kodim) supaya mendukung G3OS/PKI. Mereka juga membagi-bagikan senjata kepada anggota Legiun Veteran setempat. Pada tanggal 2 Oktober 1965, terjadi demonstrasi anggota PKI dan organisasi massanya di depan Makorem 072 untuk menyatakan dukungannya kepada Gerakan 30 September 1965. Pada hari itu juga Komandan Korem 072 Kolonel Katamso diculik dan rumahnya dan dibawa ke kompleks Batalyon L di desa Kentungan, sebelah utara kota Yogyakarta. Selanjutnya Kolonel Katamso bersama Letnan Kolonel Sugijono dibunuh oleh anggota G3OS/PKI. Dengan kekuatan Batalyon M, G3OS/PKI juga melakukan gerakannya di Solo. Gerakan itu diawali dengan penculikan. Mereka menculik Komandan Brigade 6 Kolonel Azahari, Kepala Staf Brigade 6 Letnan Kolonel Parwoto, Kepala Staf Kodim 735 Mayor Soeparman, Komandan Polisi Militer Detasemen Surakarta Kapten Prawoto dan Komandan Batalyon M, Mayor Darso. Selain melakukan penculikan, mereka juga melakukan pendudukan terhadap kantor RRI, telekomunikasi dan bank-bank negara. Pada tanggal 2 Oktober 1965, Wali Kota Solo, Oetomo Ramelan, melalui RRI mengumumkan dukungannya kepada G3OS/PKI.
Daerah Surakarta diliputi suasana pemberontakan. Rakyat yang bukan anggota PKI atau organisasi satelitnya merasa ketakutan dan khawatir. Sementara itu, polisi belum bertindak mereka hanya mengamati kegiatan yang dilakukan PKI dan organisasi massanya. Hal ini disebabkan polisi hanya memiliki kekuatan satu kompi Brimob dan satu kompi Perintis. Demikian juga tentara pelajar yang bergabung dalam organisasi GPTP (Gerakan Pelaksana Tjita-jita Prokiamasi) sebanyak 50 orang serta organisasi massa golongan nasionalis dan agama. Mereka masih pasif dalam menghadapi kekuatan massa G3OS/PKI yang mendapat perlindungan dan oknum-oknuni Brigade 6.Oleh karena itu, Pangdam VII/Diponegoro, Brigadir Jenderal Surjosumpeno, setelah mendengar pengumuman letnan Kolonel Untung melalui radio, segera memanggil perwira stafnya dan Sad Tunggal Jawa Tengah untuk mengadakan taklimat (briefing). Pangdam memerintahkan kepada para pejabat supaya tetap tenang dan berusaha untuk menenangkan rakyat, karena situasi yang sebenarnya belum diketahui. Ia berangkat ke Salatiga untuk mengadakan taklimaf yang sama dan direncanakan akan terus ke Magelang. Asisten 2, Letnan Kolonel Soeprapto diperintahkan untuk mengadakan taklimat (briefing) di Solo. Namun ketika Pangdam VII/Diponegoro tidak berada di Semarang, Kolonel Sahirman mengumumkan berdirinya Dewan Revolusi dan Kolonel Usman mengambil alih pimpinan Kodam VII/Diponegoro.
Penumpasan G 30 S/PKI di Solo
Ketika sampai di Salatiga, Brigjen Surjosumpeno menghadapi kenyataan bahwa kota tersebut telah dikuasai oleh G3OS/PKI. Atas saran Letkol Soeprapto (yang tidak jadi berangkat ke Solo, karena sudah ada informasi bahwa kota Solo juga telah dikuasai oleh G3OS / PKI), Brigjen Surjosumpeno berangkat ke Magelang untuk menyusun kekuatan. Pasukan di Garnisun Magelang tidak terpengaruh oleh G3OS/PKI. Oleh karena itu, Panglima Daerah VII/ Diponegoro segera mengadakan taklimat dengan komandan setempat dan memutuskan untuk menggerakkan pasukan dalam upaya menumpas G3OS/PKI itu.
Pasukan yang digunakan untuk penumpasan G 30 S/PKI di Solo di antaranya adalah:
a. Batalyon Kavaleri 2 yang berkedudukan di Magelang.
b. Batalyon Artileri Medan 3 yang berkedudukan di Magelang.
c. Batalyon Artileri Medan 9 yang berkedudukan di Magelang.
d. Batalyon 4 yang berkedudukan di Medan
e. Batalyon Zeni Tempur 2/Para yang berkedudukan di Magelang.
f. Sebagian anggota Batalyon 4 yang berkedudukan di Gombong.
g. Sebagian Batalyon 3/Para yang berkedudukan di Semarang.
Gerakan operasi penumpasan dimulai pada tanggal 2 Oktober 1965. Pasukan mulai bergerak pada pukul 05.00 W1B untuk membebaskan kota Semarang dengan kekuatan 2 pleton BTR (Bronero Transportasi), yaitu kendaraan yang mengangkut personel kavaleri pimpinan Letnan Kolonel Jassin Husein dan satu’Batalyon Artileri Medan dengan tugas infantri.Setelah ada siaran RRI Jakarta, bahwa Jakarta telah berhasil dikuasai kembali oleh ABRI, sedangkan pasukan yang digunakan oleh G3OS/PKI mulai tidak kompak. Kota Semarang berhasil dikuasai kembali oleh pasukan ABRI tanpa letupan senjata. Kolonel Sahirman, dkk melarikan diri ke luar kota dikawal oleh dua kompi anggota Batalyon K pimpinan Mayor Kadri. Dua kompi anggota Batalyon K lamnya dan dua kompi anggota Batalyon D dapat disadarkan kembali dan keterlibatannya dengan G3OS/PKI. Pukul 10.00 WIB han itu juga (tanggal 2 Oktober 1965) Pangdam Vil/Diponegoro melalui RRI mengumumkan bahwa Pangdam telah kembali memegang pimpinan Kodam VII / Diponegoro.
Kota demi kota yang pernah dikuasai oleh pihak G30S/PKI itu berhasil direbut kembali, sehingga pada tanggal 5 Oktober 1965 garis Komando Kodam VII/Diponegoro telah dipulihkan kembali. Untuk memantapkan konsolidasi Kodam VII / Diponegoro, pada tanggal 5 Oktober 1965 Pangdam mengadakan taklimat secara simultan dengan komandan-komandan pleto di kota Salatiga, Solo dan Yogyakarta. Dengan demikian, secara fisik militer, pemulihan keamanan dalam jajaran Kodam VII/Diponegoro telah selesai. Namun kemudian timbul gerakan pengacau, sabotase dan pembunuhan yang dilakukan oleh massa PKI terhadap golongan yang menentang G3OS/PKI. Daerah Jawa Tengah merupakan daerah garis PKI yang kuat. Oleh karena itulah, Ketua CC PKI, D.N. Aidit memilih Jawa Tengah sebagai tempat pelariannya.
Untuk mengatasi kekacauan dan menegakkan ketertiban umum, Pangdam VII / Diponegoro berangkat dan Jakarta tanggal 16 Oktober 1965, dan dengan bantuan RPKAD serta pasukan kaveleri mereka tiba di Semarang tanggal 19 Oktober 1965. Daerah Jawa Tengah yang dianggap paling gawat dan merupakan basis G3OS/PKI adalah daerah Surakarta, Klaten, dan Boyolali.
Untuk mengintensifkan gerakan pembersihan terhadap sisa-sisa G3OS/PKI di Jawa Tengah, pada tanggal 1 Oktober 1965 dibentuk Komando Operasi Merapi. Operasi Merapi ini langsung dipimpin oleh Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhi Wibowo. Dalam operasi itu pimpinan G3OS/PKI Jawa Tengah seperti Kolonel Sahirman, Kolonel Maryono dan Kapten Sukarno
berhasil ditembak mati. Dengan keberhasilan itu, pada tanggal 30 Desember 1965 pasukan RPKAD ditarik kembali dan Jawa Tengah ke pangkalannya di Jakarta. Kemudian pemulihan keamanan dan ketertiban dilanjutkan dalam rangka peperda pembersihan organisasi politik dan organisasi massa pendukung G305 /PKI.
Pembersihan terhadap G3OS/PKI itu juga dilakukan di daerah Blitar Selatan. Gerakan pembersihan itu diberi nama Operasi Trisula yang dilancarkan mulai tanggal 3 Juli 1968. Operasi itu memakan waktu satu setengah bulan dan berhasil menangkap 850 orang PKI yang mendukung G3OS/PKI. Mereka yang tertangkap itu di antaranya 13 orang tokoh tingkat CC dan 12 orang tokoh tingkat CDB. Operasi penumpasan terhadap pendukung gelap G3OS/PKI dan PKI gelap juga dilakukan di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu di daerah pegunungan Lawu dan Kendeng. Operasi itu berhasil menangkap 200 orang kader PKI. Selain itu terdapat operasi penumpasan di daerah Purwodadi setelah tercium bahwa PKI gelap membangun STPR (Sekolah Tentara Perlawanan Rakyat). Diketahui pula PKI gelap memindahkan kegiatannya di daerah kompleks Merapi Merbabu (MMC). Dalam operasi yang dilancarkan di daerah itu berhasil ditangkap Pono (Supono Mrsudidjojo), orang kedua dalam biro khusus PKI.
Sementara itu, operasi penumpasan G3OS/PKI yang dilakukan di luar Jakarta dan Jawa Tengah cukup dilakukan dengan Gerakan Operasi Territorial. Operasi itu dilakukan dengan menangkapi tokoh-tokoh organisasi politik dan organisasi massa PKI. Pada daerah-daerah itu para pendukung G3OS/PKI belum sempat mengadakan gerakan perebutan kekuasaan, hanya di daerah Jawa Timur dan Bali timbul kekacauan dengan terjadinya penculikan dan pembunuhan. Namun, dalam waktu singkat gerakan itu dapat dilumpuhkan. Secara keseluruhan pemberontakan yang menamakan G3OS/PKI yang ditenggarai didukung oleh PKI telah berhasil ditumpas. Bahkan PKI dinyatakan sebagai partai terlarang oleh pemerintah untuk berdiridi Republik Indonesia.
Demikianlah pembahasan tentang sejarah singkat peristiwa pemberontakan G 30S/PKI lengkap dengan cara penumpasannya. Semoga bermanfaat.